SETARA Institute: Reformasi Sektor Keamanan Kepemimpinan Jokowi Jilid II Jalan di Tempat

SETARA Institute: Reformasi Sektor Keamanan Kepemimpinan Jokowi Jilid II Jalan di Tempat

Smallest Font
Largest Font

JAKARTA|LIPUTAN12 – Hari ini, tepat di tanggal 05 Oktober 2020, TNI merayakan HUT ke-75. Bulan Oktober ini juga menandakan 1 tahun kepemimpinan Jokowi Jilid II. Jika di periode pertama kepemimpinannya, SETARA Institute mencatatkan stagnasi reformasi sektor keamanan, pada tahun pertama periode kedua ini pun, Jokowi masih belum menunjukkan kepemimpinan yang efektif dalam menuntaskan agenda reformasi sektor keamanan. Presiden Jokowi seharusnya berbenah dan kembali mengevaluasi agenda pemerintahannya terkait reformasi militer. Namun, realitas yang terjadi justru memperlihatkan hal sebaliknya, tetap jalan di tempat dan menunjukkan regresi serius dalam beberapa isu reformasi sektor keamanan.

Empat fokus mandat reformasi TNI menjadi perhatian SETARA Institute, yakni (1) penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil, (2) kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara, (3) kedisiplinan terhadap operasi militer selain perang (OMSP), dan (4) larangan menduduki jabatan sipil.

Penghormatan terhadap HAM dan supremasi sipil

  1. Janji penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu, yang diduga melibatkan anggota TNI semakin tidak jelas. Tidak ada langkah signifikan terkait janji penuntasan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, sebagaimana termaktub dalam Nawacita Jilid I Jokowi. Realitas hari ini justru terjadi penguatan narasi bahwa kasus Semanggi I dan II, sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, bukanlah kasus kejahatan serius yang bisa diadili dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
  2. Penguatan narasi yang kurang kondusif bagi penuntasan pelanggaran HAM masa lalu juga muncul dari Menko Polhukam yang mengklaim tak pernah ada pelanggaran HAM selama Joko Widodo menjabat sebagai Presiden. Pernyataan tersebut ditunjukan untuk membuat distingsi Jokowi dengan presiden sebelumnya, yang secara implisit dapat menjadi pembenaran untuk menghindari tanggung jawab masa lalu. Statemen tersebut juga seakan memosisikan jabatan antarmasa Presiden sebagai sesuatu yang terpisah dan tidak terkait. Padahal antar masa Presiden memiliki kontinuitas dengan periode berikutnya, sehingga penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu akan terus menjadi tanggungjawab setiap Presiden di masa jabatannya. Pola penghindaran semacam ini berpotensi menjadi preseden buruk untuk pemerintahan berikutnya.
  3. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu semakin buntu ketika pada 16 Januari 2020, Jaksa Agung S.T. Burhanuddin menyebut tragedi Semanggi I dan II bukan merupakan pelanggaran HAM berat, sehingga cukup diadili di pengadilan umum.
  4. Penyelesaian kasus HAM masa lalu di era Presiden Jokowi semakin suram setelah Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 116 Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan dari dan dalam Jabatan Pimpinan Tinggi Madya di Lingkungan Kemhan. Dalam Keppres tersebut dilakukan pengangkatan terhadap dua mantan anggota Tim Mawar, yang diduga sebagai aktor penculikan para aktivis pada 1997/1998, sebagai pejabat publik di Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Pengangkatan ini semakin mencerminkan tata kelola pemerintahan yang tidak peduli terhadap HAM. HAM semata-mata sebagai komoditas politik. Melalui pengangkatan ini terlihat bahwa pemerintah tak sedikit pun memiliki niat (political will) untuk segera menyelesaikan kasus-kasus tersebut secara hukum. Regresi serius penuntasan pelanggaran HAM masa lalu ditandai dengan akomodasi politik aktor-aktor yang diduga melakukan pelanggaran HAM, duduk manis dalam jabatan-jabatan strategis di bawah kepemimpinan Jokowi.
  5. Terkait dengan penghormatan supremasi sipil, kepemimpinan Jokowi juga tidak punya paradigma yang solid terkait domain kerja sipil-militer sebagai bentuk penghormatan pada supremasi sipil sebagai ciri utama demokrasi. Ketiadaan pengaturan terkait paradigma criminal justice system dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme berpotensi mengancam kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia. Pengaturan tersebut juga tidak diikuti dengan mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum. RPerpres ini seharusnya berkaitan dengan penguatan paradigma criminal justice system dalam penanganan tindak pidana terorisme, mengedepankan proses hukum yang transparan dan akuntabel, serta menjunjung tinggi HAM.

Kepatuhan terhadap kebijakan dan keputusan politik negara

6. Persoalan lain dalam Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) pelibatan TNI dalam menangani terorisme berupa ketiadaan landasan kebijakan dan keputusan politik negara dalam pelaksanaannya. Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme yang diatur dalam RPerpres ini berpotensi melanggar UU No. 34/2004 tentang TNI (UU TNI). Dalam RPerpres ini, terutama Pasal 2, tidak menyebutkan sama sekali bahwa pelibatan TNI dalam mengatasi aksi Terorisme harus dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, yang bersifat temporer. Hal ini tentu melanggar Pasal 5 dan Pasal 7 (3) UU TNI yang secara eksplisit menyebut bahwa TNI dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Dalam konteks penindakan, RPerpres ini juga tidak sesuai dengan UU TNI. Pasal 8 dalam RPerpres ini hanya menyebutkan bahwa Penggunaan kekuatan TNI hanya berdasarkan perintah Presiden. Padahal dalam Pasal 17 (2) UU TNI menyebutkan dalam hal pengerahan kekuatan TNI Presiden harus mendapat persetujuan DPR. Kalaupun dalam keadaan mendesak, Pasal 18 (2) UU TNI juga mengatur bahwa dalam waktu 2 X 24 jam terhitung sejak dikeluarkannya keputusan pengerahan kekuatan, Presiden harus melaporkan kepada DPR.

Kedisiplinan terhadap operasi militer selain perang (OMSP)

  1. Penunjukan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, untuk menangani sektor pangan dalam program food estate atau lumbung pangan nasional di dua kabupaten di Kalimantan Tengah berpotensi menjadi pintu masuk TNI ikut terlibat langsung di program food estate yang akan menjadi cadangan logistik di Indonesia. Penunjukan ini mencerminkan ketiadakpatuhan terhadap 14 poin OMSP dalam UU TNI, karena sektor pangan ini jelas tidak termasuk. Frasa “…terpadu dan terarah…” dalam definisi sistem pertahanan yang dijelaskan dalam Pasal 1 poin 2 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara justru mencerminkan bagaimana sistem pertahanan tersebut saling berkesinambungan dan sesuai dengan tupoksi masing-masing. Sehingga, dalam aspek pangan, seharusnya Kementerian Pertanian menjadi institusi yang lebih relevan.
  2. Kebijakan Kementerian Agama yang menggandeng TNI AD untuk program peningkatan kerukunan beragama juga menjadi tanda tanya terkait landasan hukumnya. Program kerukunan umat beragama ini pun tidak termasuk dalam 14 kategori Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU TNI Pasal 7 ayat (2) huruf b. Kalau pun alasan pelibatan tersebut terkait mengatasi aksi terorisme, salah satu kategori OMSP, hal ini justru tidak relevan lantaran tupoksi tersebut merupakan domain Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Perpres 46/2010 tentang BNPT. Tidak ada argumen yang kuat dan masuk akal bagi Kementerian Agama untuk melibatkan TNI dalam program kerukunan umat beragama.

Larangan menduduki jabatan sipil

  1. Kebijakan Menteri BUMN terkait pergantian Direksi dan Komisaris sejumlah perusahaan BUMN yang memasukkan perwira TNI (dan Polri) aktif juga mencerminkan ketidakpatuhan terhadap UU TNI yang melarang prajurit TNI aktif menduduki jabatan sipil, sehingga secara eksplisit tidak sesuai dengan aturan dalam UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. Pasal 47 ayat (1) UU TNI mengamanatkan Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan. Meskipun pada ayat berikutnya terdapat pengaturan terkait pengecualian jabatan sipil yang bisa diduduki TNI, namun jabatan di BUMN secara eksplisit tidak termasuk dalam jabatan yang dikecualikan tersebut.

Hubungan TNI-Polri

  1. Selain catatan internal di tubuh TNI dan bagaimana Jokowi membangun tata kelola reformasi sektor keamanan, HUT TNI ke-75 ini seharusnya juga dijadikan momentum perbaikan relasi TNI-Polri di akar rumput. SETARA Institute mencatat pelbagai konflik TNI-Polri dalam 6 tahun terakhir, tepatnya sejak pertama Presiden Jokowi dilantik pada 20 Oktober 2014 sampai dengan satu tahun periode kedua pemerintahannya pada 05 Oktober 2020. Pencatatan ini menjadi potret relasi TNI-Polri di akar rumput.
  2. SETARA Institute mencatat 31 konflik TNI-Polri yang terjadi dalam 6 tahun terakhir. Sebanyak 31 konflik yang terjadi tersebut terbagi atas:
  1. Masing-masing konflik yang tercatat terjadi di daerah yang berbeda, sehingga potensi kemunculan konflik dikarenakan efek domino sangat kecil. Konflik yang terjadi berdiri sendiri, meskipun informasi konflik yang terjadi di daerah lain tersebar. Namun demikian, dendam personal akibat sesama korps dan penggunaan jiwa korsa yang keliru memungkinkan menjadi pemicu konflik lanjutan.
  2. Konflik yang tercatat berbasis konflik antar-oknum di kedua institusi TNI-Polri. Jadi bukanlah konflik antar-institusi. Namun demikian, akibat dari konflik juga berpengaruh terhadap relasi antar-institusi dan relasi antar prajurit TNI-anggota Polri. Meskipun pascakonflik tersebut pimpinan TNI-Polri acapkali membuat agenda bersama guna mendinginkan suasana dan memperlihatkan kekokohan relasi TNI-Polri, tetapi 31 catatan konflik ini justru pada dasarnya mencerminkan kondisi di akar rumput belum sekondusif di tataran pimpinan ke dua institusi. Kondisi yang terjadi justru sebaliknya, rentan memunculkan konflik dan mudah terprovokasi.
  3. Kondusifitas relasi TNI-Polri tentu tidak dapat sekedar direpresentasikan melalui pelbagai spanduk-baliho kedua pimpinan institusi ini. Pelbagai konflik yang terjadi antar oknum TNI-Polri sesungguhnya mencerminkan kondisi di akar rumput duo institusi ini. Jika ingin melihat relasi, yang menjadi acuan seharusnya kondisi di akar rumput. Persoalan ini memang harus mendapat perhatian serius, karena bukan hanya oknum masing-masing institusi yang menjadi korban, tetapi juga warga sipil.
  4. Konflik antara TNI-Polri mengakibatkan pelbagai kerugian, seperti kerusakan pada bangunan, mobil, motor, dan infrastruktur lainnya yang berada dilokasi kejadian. Selain itu, pelbagai konflik tersebut juga memakan korban dari masing-masing pihak, baik yang terluka maupun tewas dengan rincian:
  5. Dalam pemetaan yang dilakukan SETARA Institute, terdapat Sembilan [9] sebab-musabab terjadinya konflik antara oknum TNI-Polri, yakni:
    a) Persoalan pribadi
    b) Saling tatap yang memicu ketersinggungan
    c) Saling ejek
    d) Salah paham/miskomunikasi
    e) Tidak terima ditegur
    f) Tidak terima ditilang
    g) Aduan salah satu anggota keluarga/teman
    h) Residu permasalahan masa lalu yang belum tuntas, dikarenakan penanganan perkara yang oleh salah satu pihak dianggap tidak memuaskan
    i) Kabar bohong

Rekomendasi
Analisis dari berbagai peristiwa dan tata kelola reformasi sektor keamanan pada kepemimpinan Jokowi, menunjukkan bahwa reformasi sektor keamanan berjalan di tempat dan mengarah pada kemunduran serius yang mengancam supremasi sipil dan demokrasi. SETARA Institute merekomendasi beberapa hal dalam rangka pemajuan reformasi TNI:

  1. Presiden Jokowi melakukan akselerasi terhadap upaya penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu yang diduga melibatkan oknum TNI, serta percepatan pembahasan dan pengesahan terhadap revisi UU Peradilan Militer sebagai bentuk penghormatan atas HAM dan supremasi sipil.
  2. DPR perlu aktif dalam pengawasan setiap agenda reformasi TNI, terutama dalam hal keterlibatan DPR dalam kebijakan dan keputusan politik negara yang menjadi dasar TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU TNI.
  3. Presiden perlu mengevaluasi kinerja Kementerian dalam kerangka agenda reformasi TNI. Beberapa Kementerian justru menjadi pintu masuk perluasan peran militer dalam ranah sipil, terutama pada Kementerian yang lingkup kerjanya di luar OMSP dan jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI aktif seperti yang disebutkan dalam UU TNI.
  4. Presiden Jokowi dan DPR perlu mempertegas pengawasan terhadap pelbagai kebijakan K/L terkait pelibatan TNI dalam bidang OMSP dan jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI aktif yang disebutkan dalam UU TNI. Kebijakan-kebijakan yang berpotensi melanggar UU TNI tersebut perlu untuk dievaluasi kembali dan dibatalkan.
  5. Presiden, DPR, TNI, kembali membuat roadmap reformasi TNI untuk mengantisipasi stagnasi dan kemunduran reformasi TNI yang saat ini nyaris tanpa arah. Desain penguatan pertahanan dan profesionalitas TNI harus ditujukan untuk merespons dinamika global dan tantangan kemajuan teknologi informasi, termasuk pengutamaan human security.
  6. Dalam konteks relasi TNI-Polri, formula-formula strategis perlu dirancang masing-masing pimpinan. Sifat formula tersebut tidak hanya bersifat ibarat “pemadam kebakaran”, tetapi juga preventif. Selain itu, penghukuman yang tegas terhadap masing-masing oknum TNI-Polri yang terbukti bersalah juga harus dilakukan. Jangan lagi ada upaya melindungi pelaku bagi masing-masing institusi. Bagi pemerintah, tentu persoalan struktural menjadi pekerjaan rumah besar yang harus secepatnya diselesaikan, ketimbang didiamkan tanpa ada kejelasan. Kecemburuan-kecemburuan antar alat negara akan berimbas negatif bagi stabilitas nasional jangka panjang.

Narahubung:
Ikhsan Yosarie, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, 0822 8638 929

Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 0812 1393 1116

Editor    : Redaksi
Copyrigh © Liputan12 2020

Editors Team
Daisy Floren