Setara Institute Menilai Pemanggilan Komnas HAM Terhadap Pimpinan KPK dan BKN Terkesan Mengada-ada
JAKARTA | LIPUTAN12 – Ketua SETARA Institute Hendardi menilai pemanggilan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) bukan saja tidak tepat tetapi juga terkesan mengada-ada, hanya terpancing irama genderang yang ditabuh 51 pegawai KPK yang tidak lulus Test Wawasan Kebangsaan (TWK) yang jumlahnya kurang dari 5,4 % pegawai KPK.
Menurut Hendardi, Test Wawasan Kebangsaan yang diselenggarakan KPK melalui vendor BKN dan beberapa instansi terkait yang profesional adalah semata urusan administrasi negara yang masuk dalam lingkup hukum tata negara (HTN). Dan hal ini merupakan perintah UU dalam rangka alih tugas pegawai KPK menjadi ASN.
“Jadi, jika ada penilaian miring atas hasil TWK ini mestinya diselesaikan melalui hukum administrasi negara, bukan wilayah hukum HAM, apalagi pidana,” demikian dikatakan Hendardi dalam keterangan tertulisnya, yang diterima tim redaksi liputan12, Kamis (10/6/2021) malam.
Hendardi kembali menegaskan, pemanggilan Komnas HAM terhadap pimpinan KPK dan BKN ingin mengesankan seolah ada aspek pelanggaran HAM yang terjadi.
“Semestinya Komnas HAM meneliti dan menjelaskan dahulu ruang lingkup dan materi di mana ada dugaan pelanggaran HAM yang terjadi sebelum memanggil pimpinan KPK dan BKN,” tegas Hendardi.
Analoginya, lanjut Hendardi, jika misalkan ada mekanisme seleksi untuk pegawai Komnas HAM dan kemudian ada sebagian kecil yang tidak lulus apakah mereka bisa otomatis mengadu ke Komnas HAM dan langsung diterima dengan mengkategorisasi sebagai pelanggaran HAM? Dalam setiap pengaduan ke Komnas HAM diperlukan mekanisme penyaringan masalah dan prioritas yang memang benar-benar memiliki aspek pelanggaran HAM, agar Komnas HAM tidak dapat dengan mudah digunakan sebagai alat siapapun dengan interes apapun.
“Komnas HAM harus tetap dijaga dari mandat utamanya sesuai UU untuk mengutamakan menyelesaikan dan menangani kasus-kasus pelanggaran HAM berat (gross violation of Human Rights),” kata Hendardi.
Hendardi menjelaskan, dalam persoalan alih status menjadi ASN dimanapun, sangat wajar jika Pemerintah menetapkan kriteria-kriteria tertentu sesuai amanat UU. Karena untuk menjadi calon pegawai negeripun memerlukan syarat-syarat tertentu termasuk melalui sejumlah test antara lain tentang kebangsaan.
“Menjadi ironi ketika di berbagai instansi negara lainnya untuk menjadi calon ASN maupun menapaki jenjang kepangkatan harus melewati berbagai seleksi termasuk TWK, namun ada segelintir pegawai KPK yang tidak lulus (kurang dari 5,4%) yang menuntut diistimewakan,” jelas Hendardi.
Dikatakannya pula, dalam konteks seleksi ASN memang bisa saja pelanggaran terjadi misalnya seseorang tidak diluluskan (dicurangi/diskriminasi) atau karena tidak dipenuhi hak-haknya ketika diberhentikan dari pekerjaannya (pelanggaran HAM).
“Tapi tentu harus dibuktikan dengan data yang valid,” tandasnya.
Masih kata Hendardi, sudah waktunya polemik dan manuver politik pihak yg tidak lulus TWK ini dihentikan karena tidak produktif dan tersedia mekanisme hukum PTUN untuk memperjuangkan aspirasi mereka.
“Demikian pula seyogyanya lembaga-lembaga seperti Komnas HAM dll. tidak mudah terjebak untuk terseret dalam kasus yang kendati cepat populer tapi bukan merupakan bagian mandatnya dan membuang-buang waktu,” tuturnya.
Redaktur : Lekat Azadi
Copyright ©2021 liputan12.id