Rencana Satgasus Komisi Yudisial, CBA: Seperti ‘Jurus Pendekar Mabok’

Rencana Satgasus Komisi Yudisial, CBA: Seperti ‘Jurus Pendekar Mabok’

Smallest Font
Largest Font

JAKARTA | LIPUTAN12 – Terjeratnya dua Hakim Mahkamah Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh membuktikan bobroknya kinerja Komisi Yudisial dalam menjaga keluhuran, martabat, dan memverifikasi Hakim Agung. Perlu dicatat, masalah jual beli perkara oleh hakim bukan kali ini saja terjadi, tercatat sejak 2012 sampai 2019 terdapat 20 hakim yang terjerat.

Menyikapi fenomena luar biasa ini, baik Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial belum menunjukkan langkah serius dan konkrit. Sebagai contoh yang dilakukan Komisi Yudisial Bukannya melakukan evaluasi terhadap kinerja di internalnya, yang dilakukan malah ingin membentuk satgasus yang secara tidak langsung mengamini bahwa Komisi Yudisial memiliki kinerja yang rusak.

Rencana Komisi Yudisial ingin membentuk Satgasus, adalah tindakan reaksioner atau tidak lebih dari jurus mabok yang tidak jelas landasan hukumnya dan tidak terukur karena tidak jelas tujuannya. Sudah sejak 2012 atau setidaknya tahun 2019 dimana terdapat oknum hakim terlibat korupsi, tapi baru saat ini Komisi Yudisial ingin membentuk Satgasus. Idealnya, tanpa embel-embel Satgasus jika saja tugas fungsi dan wewenang Komisi Yudisial dijalankan dengan baik tidak akan ada cerita puluhan hakim terjerat karena melakukan jual beli perkara.

Komisi Yudisial adalah lembaga negara penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.

Selebihnya, UU nomor 18 tahun 2011 pasal 20 menjelaskan tugas dan fungsi Komisi Yudisial dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, sehingga Komisi Yudisial harus melakukan pemantauan, dan pengawasan terhadap perilaku hakim, bukan malah membentuk satgasus yang akan menghabiskan anggaran negara.

Komisi Yudisial memang sudah seharusnya bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk melakukan pengawasan dalam rangka pemantauan terhadap indikasi pelanggaran-pelanggaran kode etik hakim oleh para hakim. Sehingga, persyataan yang disampaikan tidak lagi “akan bekerjasama dengan aparat penegak hukum”, tapi memang seperti itulah seharusnya dilakukan oleh komisi yudisial sejak dulu.

Pernyataan Komisi Yudisial yang ingin “membentuk satgasus” dan “akan bekerjasama dengan aparat hukum” dalam menjaga hakim merupakan bukti minimnya kinerja komisi yudisial, minimnya pemahaman komisi yudisial dalam menjalankan amanat Undang-Undang.

Sehingga, keinginan Komisi Yudisial untuk membentuk satgasus dan bekerjasama dengan aparat hukum hanyalah upaya Komisi Yudisial lari dari tanggungjawab, dan Komisi Yudisial hanya akan melakukan pemborosan terhadap anggaran negara.

Tidak perlu lagi membuat satgasus. Jika Komisi Yudisial membentuk Satgasus, secara tidak langsung Komisi Yudisial hanya mengamini bahwa mereka tidak bekerja dalam menjaga martabat pengadilan dan tidak becus dalam melakukan seleksi hakim di Mahkamah Agung.

Komisi Yudisial patut kembali membaca undang-undang terkait tugas fungsi dan wewenangnya. Banyaknya hakim yang terjerat kasus tindak pidana korupsi membuktikan bahwa selama ini Komisi Yudisial belum menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, dan diperlukan pembenahan internal. Mulai dari proses seleksi hakim, pembinaan dan pengawasan hakim, serta sanksi dan hukuman bagi hakim yang melanggar hukum, keseluruhannya perlu dievaluasi, bukannya membuat satgasus yang berpotensi menambah beban APBN.

Editors Team
Daisy Floren