Putusan PN Cibinong Atas Penggugat Sunarno, Dianggap Merampas Kemerdekaan Masyarakat Miskin

Putusan PN Cibinong Atas Penggugat Sunarno, Dianggap Merampas Kemerdekaan Masyarakat Miskin

Smallest Font
Largest Font

BOGOR | LIPUTAN12 – Putusan Pengadilan Negeri Cibinong (PN) Kelas 1 A, tentang Tindak Pidana Ringan (Tipiring) atas perkara Pasal 209 ayat 2 KUHP No.139 /Pid.C/2021/PN Cbi terhadap Terdakwa  Ayub bin Icis dan Napsiah binti Icis, oleh penggugat Sunarno, dianggap merampas hak warga miskin.

Diketahui, perkara tersebut diputuskan pada 5 November lalu dalam sidang atas resume perkara yang diajukan penyidik Polres Bogor, nomor BP/84/X/2021/Reskrim tanggal 21 Oktober 2021 lalu, dengan membebankan  terdakwa untuk membayar ongkos perkara masing-masing sebesar Rp.3000,- (Tiga Ribu Rupiah).

Menurut Jon Pasaribu, sejak awal bergulirnya sengketa tanah, pihaknya sudah mencium aroma tidak sedap berbau pesanan tertentu. Karena dimulai saat mendatangi TKP atau objek yang dianggap sengketa, terlihat dari Polres Bogor pada Reskrim unit III  mendatangi lokasi yang datang seragam merah dan putih kurang lebih 8 orang.

“Dari kejadian itu, saya sudah paham untuk membuat mental para ahli waris Dowund, ditambah dari Kelompok Sunarno selaku pelapor. Itu sudah merampas hak kemerdekaan warga miskin seperti kami,” kata Jon Pasaribu selaku menantu ahli waris, kepada wartawan, Jumat (12/11/2021).

Menurut Jon, sebelum polisi turun atau Sunarno resmi melapor ke Polres Bogor, Sunarno beberapa kali membawa aparat berseragam. Namun dihadapi semuanya baik secara intimidasi, dilakukan melalui orang-orang yang tidak jelas.

“Bahkan saudara tiri dari yang dilaporkan, dipakai juga melakukan intimidasi,” katanya.

Dari saat persidangan pada 4 November 2021 lalu di PN Cibinong, sebagai saksi yang dihadirkan dalam Persidangan 8 orang, anehnya saksi dari Terdakwa sepotongpun orang tidak ada. Bahkan di saat persidangan itu berjalan, karena nama Jon Pasaribu disebut oleh Sunarno sebagai orang yang menghasut terdakwa menempati Tanah yang diakui telah dibelinya.

“Dalam kesempatan itu saya minta kepada hakim yang mulia, mohon diberikan kesempatan menjadi saksi dari pihak Terdakwa, tetapi ditolak. Saya selaku menantu Terdakwa melihat persidangan itu seakan aneh tapi nyata,” jelasnya.

Ia menganggap, masih ada Hakim di NKRI yang bentak-bentak Terdakwa, yang kebetulan dari Alm UJI binti H. Mardiah Ibunya buta huruf dan Para Terdakwa juga buta huruf, seharusnya Hakim itu meminta saksi yang mengetahui kronologi permasalahan dapat diambil keputusan yang adil dan tidak hanya berdasarkan Hasil BAP Kepolisian. Sebab apa yang diajukan polisi ke pengadilan itu jelas sudah sesuai pesanan tertentu.

“Saya nilai peradilan akal-akalan, memakai Perpu 51 yang sudah lama. Sehingga Jaksa sebagai Pengacara Negara atau Penuntut Umum (PU) tidak diperlukan,” jelasnya.

Jon menganggap jika keputusan Hakim pada PN cibinong, juga dianggap sesat karena tidak mendasar. Dengan seharusnya Hakim itu meminta saksi dari Terdakwa, untuk mengambil keputusan yang berkeadilan dan beradab tidak hanya berdasarkan Hasil BAP Kepolisian, maka diduga adanya main mata antara aparat penegak hukum.

“Ternyata Hukum Itu Tumpul ke atas Tajam ke bawah, apalagi orang yang buta huruf rakyat kecil dan miskin, dan itu faktanya. Awalnya saya berpikir jernih dan menilai hakim akan memutus perkara yang adil. Tapi putusannya tidak berkeadilan,” jelasnya.

Jon menyesalkan jika namanya disebut Sunarno dengan dituduh sebagai penghasut, sehingga para terdakwa menempati yang diakuinya sudah dibeli pada Tahun 1994 dan Tahun 2003 dari Uji binti Toing, namun ketika Hakim bertanya harga jual belinya para saksi mendadak lupa ingatan.

“Dan anehnya, ketika mantan kepala desa yang saat ini menjabat Anggota DPRD Kabupaten Bogor, dalam pengakuannya di persidangan, bahwa penandatanganan AJB atas nama Sunarno tidak di Kantor Desa Cicadas dan dipastikan juga tidak di Kantor Notaris Iriana, SH serta ditandatangani si penjual Uji binti Toing. Dan menurutnya diurus stafnya kala itu yang dinyatakan dalam persidangan oleh Adi Swardi selaku saksi dan menjabat Kades Cicadas kala itu,” tutupnya.

Sementara Nanang, S.H., selaku kuasa hukum terdakwa menilai jika Akta Jual Beli (AJB) milik Sunarno selaku penggugat diduga direkayasa, dan dianggap tidak melalui prosedur hukum yang sah. Karena berdasarkan surat keterangan desa no 593.2/VIII/2017, menerangkan tanah atas nama Uji binti Toing tercantum didaftar ketetapan IPEDA no 1508 persil no 31a D.1 seluas 469 meter, telah berubah menjadi 394 m berdasarkan AJB no 29 /2010 dengan Noneng Lelasari, sehingga luas tanah yg tersisa atas nama Uji binti Toing masih 394 Meter.

“Tindakan pidana ringan (tipiring) Pasal 6 ayat (1) Perpu no 51 tahun 1960 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya dan jual beli 1994 dan AJB 2003 terhadap Sunarno selaku penggugat diduga rekayasa dan tanpa prosedur, bahkan AJB tersebut diduga tidak tercatat di desa,” kata Nanang.

Nanang menjabarkan, AJB Sunarno Tahun 1994 dan Tahun 2003 diduga rekayasa. Karena, jika AJB itu dianggap sah sesuai hukum, harus dibuktikan jika dengan surat Ahli Waris Toing yang ditandatangani Ijah binti Toing.

“Ijah anak pertama dari istrinya Uji, seharusnya duduk bersama menjual tanah Toing. Yaitu Ijah Binti Toing, Sumantri Bin Toing dan Uji Binti Mardyah sebagian Ahli Waris dari Toing,” jelas Nanang.

Karenanya, AJB 2010 berdasarkan surat keterangan waris no 593.2/20/II/2010 bertindak sebagai ahli waris yang masih hidup sebagai penjual lengkap, ada Sumantri Binti Toing, Ijah binti Toing dan anak-anak UJi yakni Ayub, Nafsiah, Fatimah dan pepen.

“Karena AJB sebelum Tahun 2010 tidak tercatat di desa, artinya yang tercatat di desa hanya AJB tahun 2010 terhadap Noneng,” tukasnya. ***

Redaktur    : Lekat Azadi
Copyright ©2021 liputan12.id

Editors Team
Daisy Floren