Perlukah Sekolah Kejujuran?

Perlukah Sekolah Kejujuran?

Smallest Font
Largest Font

Foto: ilusi

Penulis: Ahmad Sofyan Wahid
(Jurnalis dan Aktivis Kemanusiaan)

JAKARTA – Indonesia menjadi negara darurat korupsi dan tercatat sebagai negara ke 3 terkorup di Asia. Bersumber dari Merdeka.com, menurut Transparency International merilis laporan bertajuk “Global Corruption Barometer – Asia dan Indonesia menjadi Negara nomor tiga paling korup di Asia. Posisi pertama ditempati india di ikuti kamboja.

Jerry Massie peneliti political and public Policy studies lemahnya hukum di Indonesia membuat sikap tamak dan serakah meraja rela. sistem mahar politik menjadi biang keladi tingginya korupsi di Indonesia.

“UU Tipikor 31 Tahun 1999 terus diubah sesuai keinginan mereka, dan hukuman terus diringankan”.

Bahkan ada yang mengatakan KATAKAN TIDAK PADA KORUPSI akhirya masuk KPK, dan sering menjadi memey di media sosial.

Ya, memang KPK bisa menjadi alat/peluru mematikan untuk melumpuhkan para lawan politik sang penguasa, dengan dicari kelemahan dan titik kesalahan. yang kecil dibesar-besarkan dan yang besar bisa dikecilkan.

KPK sebagai lembaga antirasuah menjadi dilema lantaran desakan publik yang terus menerus agar beberapa kasus besar bisa di ungkap seperti Jiwasraya, BLBI dan beberapa kasus korupsi besar lain yang menghebohkan jagad politik nasional.

Harun Masikhu seolah menjadi kartu truf oleh para aktivis anti korupsi untuk menyerang partai penguasa, dia menghilang bak ditelan bumi. Apakah harun Masikhu benar kabur, ngumpet menggunakan dinding Gaib? atau disimpan terlebih dahulu pada saatnya nanti untuk membongkar orang yang terlibat dalam kasus yang sama. Hanya waktu yang bisa menjawab.

Jika niat para pejabat publik lurus saya yakin korupsi tidak ada di ibu pertiwi, jika niatnya terjun ke dunia politik untuk kemewahan hidup saya yakin korupsi merajalela.

Beberapa alasan unik para koruptor seperti ingin menyenangkan anak, istri dan para kerabat, serta bermacam macam alasan lain, yang terkadang membuat publik tertawa.

Republik ini sejatinya miskin orang jujur, kita hanya menunggu Bom waktu kemarahan publik. ketika hukum di Indonesia tidak mampu lagi menangani kasus korupsi bukan tidak mungkin Hukum rimba akan dilakukan oleh para individu yang geram akan kelakuan para koruptor seperti Film Bolywood di India berjudul “Grabbar”.

“Bukan tidak mungkin para pemuda yang geram akan Maraknya Korupsi di Indonesia meniru Film Grabbar, yang fenomenal itu”.

Negara yang katanya beragama kalah dengan negara yang berideologi Komunis dalam pemberantasan korupsi seperti di Korut dan China yang sangat ekstrem membasmi para koruptor.

Jurang kemiskinan antara kaya dan miskin makin lebar, otomatis tingkat kriminalitas meningkat. Suatu hal yang lumrah jika banyak orang miskin yang selalu iri akan apa yang diraih dari para orang kaya.

“India dengan populasi penduduk lebih dari 1 Milyar terkenal dengan korupsinya yang hingga detik ini masih juara 1 di asia”.

Jika Seperti ini Perlukah Sekolah Kejujuran?

Sekali lagi republik ini butuh orang jujur dan sederhana seperti Bung Hatta, KH. Agus Salim yang memang menjadi Icon sederhana seorang Pejabat publik.

Banyak yang menyalahkan sistemnya memang sudah seperti ini, ada yang beralasan itu semua tergantung manusianya.

Ketika ada pesta demokrasi baik pilpres, pileg maupun pilkada sebagian masyarakat pasti bertanya dapat apa saya kalau memilih dia ? memang kalau dia sudah jadi inget sama kita orang orang kecil ini.

Solusi

Pendidikan Kejujuran harus dimulai dari masyarakat bawah dan diikuti oleh perbaikan sistem. KPK sebenarnya sudah berusaha untuk memasarkan Tagline “Berani Jujur itu hebat” kepada masyarakat. Tapi apa daya KPK hanyalah di isi manusia biasa dan bukan diisi jagoan seperti di film film Hero.

Saya yakin jika semua memahami esensi kejujuran itu perbaikan moral di Indonesia akan semakin baik, Politik Mahar menjadi biang keladi maraknya korupsi di Indonesia.

Sekali lagi harus ada perubahan sistem untuk mengurangi bahkan memangkas habis tingkat korupsi di ibu pertiwi kita ini.

Editor    : Redaksi
Copyrigh © Liputan12 2020

Editors Team
Daisy Floren