Penuhi Kebutuhan Dasar Anak, PAUD H.I El Fath Sumenep Terapkan Konsep Holistic Integratif

Penuhi Kebutuhan Dasar Anak, PAUD H.I El Fath Sumenep Terapkan Konsep Holistic Integratif

Smallest Font
Largest Font

SUMENEP – PAUD H.I El Fath Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur  menggunakan konsep Holistik Integratif dalam metode belajar mengajarnya untuk memenuhi enam kebutuhan dasar anak.

Diketahui, enam kebutuhan dasar anak meliputi pendidikan, kesehatan, perawatan gizi, pengasuhan, perlindungan anak untuk pisikis dan fisik serta kesejahteraan anak

Sementara konsep tersebut dipilih dalam metode pembelajaran PAUD H.I El Fath sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 tahun 2013 tentang PAUD Holistik Integratif.
Z
Konsep Holistik Integratif memiliki makna penanganan anak usia dini secara utuh (menyeluruh) yang mencakup layanan gizi dan kesehatan, pendidikan dan pengasuhan untuk mengoptimalkan semua aspek perkembangan anak yang dilakukan secara terpadu oleh berbagai pemangku kepentingan di tingkat masyarakat, pemerintah daerah dan pusat.

Direktur PAUD H.I El-Fath, Nurul Hidayati menjelaskan konsep baku yang terkandung dalam Holistik Integratif perlu diterjamahkan lebih lanjut agar bisa menciptakan iklim belajar mengajar yang sesuai agar anak merasa nyaman berada di sekolah.

Maka untuk merealisasikan konsep tersebut pihak sekolah merancang banyak program inovatif yang sesuai dengan kemampuan anak.

“Demi enam kebutuhan dasar itu, kita terjemahkan dalam program-program inovasi,” jelasnya, Sabtu (16/9/2023)

“Salah satunya dengan proses belajar di laur sekolah atau outdoor,”  sambungnya.

Menurutnya, program belajar di luar kelas ini biasanya dilakukan di tempat-tempat umum seperti taman, sawah, peternakan bahkan rumah wali murid yang sesuai dengan kebutuhan materi belajar.

Selain itu, kata dia, ada pula gerakan literasi yang tidak hanya berfokus pada kemampuan membaca, tetapi juga memahami serta memaknai apa yang dibaca, dilihat maupun didengar.

“Saat ini yang kita godok itu adalah kemampuan literasi anak, karena dimana literasi anak-anak Indonesia itu rendah. Bukan yang ngga bisa baca ya, tapi memaknai apa yang dia baca itu, mengolah informasi yang dia dapat dari  membaca atau melihat, atau mendengar itu yang kurang terstimulasi sejak dini,” jelasnya.

Dengan lewat langkah ini, ia mengaku, anak akan mengalami proses tahapan sebelum ia mengenal huruf dan membaca. Adapun caranya adalah dengan pembiasaa.

“Tahapan literasi melalui pembiasaan. Pertama, Pembiasaan dengan Konsep Angka,” ujarnya.

Pada tahap ini, anak diminta mengambil kertas bertuliskan angka setiap datang ke sekolah dan menggunakan angka di kertas tersebut untuk berbagai keperluan lain, seperti meletakan tas di loker maupun sepatu di rak yang telah ditempeli angka-angka.

“Ketika anak datang, ia mengambil nomer, dia menaruh tas dan sepatu di nomer yang sesuai. Itu akan membiasakan anak terhadap angka,” tambahnya.

“Kedua, Pembiasaan Eksplorasi Perasaan Lewat Gambar,” lanjutnya.

Pada tahap ini, Ie menyampaikan, bahwa anak akan dibiasakan dengan pertanyaan tentang perasaan yang dirasakan setiap harinya.

“Anak setiap hari ditanyakan, bagaiamana perasaannya,” paparnya.

Lalu, anak diajarkan untuk mengenal visualisasi dari perasaan tersebut lewat emotikon-emotikon yang telah disipakan sehingga nanti anak bisa menyesuaikan perasaanya dengan gambar yang tepat.

“Anak tiga tahun itu kalau belum tahu visualisasi perasaanya dengan gambar itu, misalnya senang yang ditunjuk itu nangis, ini kan belum matching, ini yang kita biasakan,” paparnya.

Tak hanya itu, Ia percaya dengan cara-cara tersebut anak akan terstimulus untuk memaknai sehingga literasi itu pun secara alami terasah pada anak didik PAUD H.I El Fath.

“Selanjutnya ada program ‘Literasi Perpustakaan’,” tuturnya.

Pada program ini, kata dia, anak diajak untuk berkunjung ke perpustakaan setiap minggu, selanjutnya anak diminta untuk menceritakan kembali apa yang dia lihat dan rasakan selama kunjungan berlangsung maupun setiap selesai pembelajaran.

Untuk mendukung hal ini, para orang tua juga diminta berkontribusi dengan bercerita di dalam kelas, serta mengusahakan agar memiliki pojok perpustakaan pribadi di rumah.

Selain menerapkan berbagai program yang inovatif, sekolah juga melakukan kerja sama dengan para orang tua dan berbagai instansi pemerintah maupun swasta untuk menjalankan konsep holistic integratif yang memerlukan dukungan dari banyak pihak.

“Program kita banyak dan bukan hanya pendidikan kita harus memenuhi enam kebutuhan dasar anak. Kalo hanya sekolah tidak akan bisa. Jadi kita perlu gotong royong dan gotong royog paling kuat dan paling dekat itu orang tua,” tandasnya.

Sementara itu, lanjut Ia menuturkan, untuk menyelaraskan program pada semua murid, setiap tahun ajaran baru sekolah akan mengadakan sosialisasi kepada para orang tua terkait program belajar mengajar selama satu tahun.

Kemudian setiap dua bulan sekali juga ada pertemuan rutin wali murid untuk kegiatan Bina Keluarga Batita (BKB). Lewat peretemuan itu, sekolah dan orang tua bisa menyamakan pola pikir untuk pendidikan anak.

Tak hanya itu, dengan BKB, para guru dan wali murid juga bisa saling bertukar pengetahuan maupun pengalaman sesuai keahlian masing-masing yang selaras dengan kebutuhan sekolah.

“Per dua bulan ada BKB untuk sosialisasi peran orang tua serta saling berbagi ilmu, dari kita untuk kita,” pungkasnya.

Editors Team
Daisy Floren