Pelabelan Teroris kepada KKB, Kontra Produktif dan Menambah Luka Sosial Rakyat Papua
JAKARTA | LIPUTAN12 – Desakan agar kelompok bersenjata di Papua dilabel sebagai organisasi teroris semakin menguat belakangan ini, apalagi setelah kematian perwira tinggi Kopassus yang menjabat Kabinda Papua, Mayjen (anumerta) I Gusti Putu Danny Karya Nugraha.
Pihak-pihak yang mendukung pelabelan ini hanya berpikir simple dan pendek karena mengira dengan begitu operasi pengejaran dan melumpuhkan kelompok bersenjata di Papua jauh akan lebih efektif. Padahal realitanya tidak semudah itu.
Sebab, di lain pihak ada juga yang mendukung tapi mempunyai agenda lain yaitu berkepentingan agar label teroris di negeri ini tidak semata pada kelompok kekerasan yang mengaku mewakili agama tertentu.
Ketiadaan definisi yang baku dan diterima secara internasional memang membuka ruang bagi setiap negara secara subyektif untuk mengkategorikan kelompok-kelompok yang dipandang mengancam keamanan dan kepentingan nasional sebagai organisasi teroris, diluar daftar organisasi teroris yang telah ditetapkan oleh PBB.
Di Indonesia sendiri bila mengacu pasal 1 ayat 2 UU No 15 tahun 2018 definisi terorisme dirumuskan secara luas dan multi interpretasi sehingga dimungkinkan adanya interpretasi yang membenarkan pelabelan itu.
SETARA Institute berpandangan dengan pelabelan organisasi teroris kepada kelompok bersenjata di Papua apalagi kemudian jika pelabelan itu melebar diberikan kepada kelompok pro kemerdekaan di Papua yang berjuang secara damai, tidak akan membantu bagi penyelesaian konflik di Papua tapi justru sebaliknya kontra produktif.
Menurut SETARA Institute, pelabelan kelompok perlawanan di Papua tidak akan memutus siklus kekerasan yang telah berlangsung lama dan panjang. Kegagalan aparat keamanan dalam melumpuhkan kelompok bersenjata selama ini lebih dikarenakan kurangnya dukungan dan kepercayaan dari rakyat setempat. Selain kondisi geografis dan pengenalan area di pegunungan sebagai kendala utama.
“Patut dipikirkan implikasi dari pelabelan tersebut. Pertama dengan melabel kelompok bersenjata di Papua sebagai teroris, itu berarti sekaligus menutup ruang negosiasi dan perundingan. Akibatnya eskalasi kekerasan akan meningkat dan dampaknya buruk bagi rakyat setempat. Mereka terpaksa mengungsi untuk mencari selamat, kehilangan penghasilan ekonomi, anak-anak tidak bersekolah, kesehatan dan sanitasi lingkungan terganggu serta hal lain-lain,” tulis Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos yang diterima redaksi, Rabu (28/4/2021).
Kedua, pelabelan teroris akan menambah luka sosial rakyat Papua. Karena mereka akan merasa pelabelan ini bukan hanya untuk kelompok bersenjata Papua tetapi rakyat Papua secara keseluruhan. Selama ini mereka merasa didiskriminasi dan mengalami perlakuan rasisme. Sekarang
bertambah dengan label teroris.
Dampak psikologi sosial semacam ini perlu dipertimbangkan oleh pemerintah. Pendekatan keamanan dan kesejahteraan fisik tanpa dipadani pendekatan kultural dan psikologi sosial akan membuat penyelesaian konflik di Papua semakin jauh panggang dari api.
Pemerintah harus menyusun sebuah strategi komprehensif untuk penyelesaian damai Papua. Tidak hanya tertuju pada percepatan pembangunan, penambahan provinsi, dan revisi UU otonomi khusus. Tapi juga membuka ruang pembicaraan dan perundingan dengan kelompok-kelompok yang melakukan perlawanan selama ini. Langkah awal untuk itu adalah mencari kesepakatan agar dihentikan penggunaan kekerasan dan permusuhan antara kedua belah pihak.
Pemerintah Indonesia bisa memulai dengan menjajaki membuka saluran komunikasi dengan pihak yang selama ini melakukan perlawanan.
Pemerintah Indonesia tidak perlu merasa kalah apalagi kuatir akan kehilangan Papua bila duduk dalam satu meja dengan kelompok perlawanan.
Perdamaian di Papua tidak akan tercapai melalui ujung senjata tetapi melalui perundingan.
Redaktur : Lekat Azadi
Copyright© liputan12 2021