OTT Komisioner KPU di Tengah Praktek Kejahatan Komunikasi

OTT Komisioner KPU di Tengah Praktek Kejahatan Komunikasi

Smallest Font
Largest Font

Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner

LIPUTAN12.ID|JAKARTA – Seperti kejahatan ekonomi, kejahatan politik dan kejahatan hukum, dalam fenomena pembicaraan bisa terjadi kejahatan komunikasi dengan menggunakan pilihan diksi atau simbol tertentu untuk makna tertentu yang terkait dengan suatu tindakan kejahatan tertentu, seperti perilaku suap (koruptif) yang diduga dilakukan WS, komisioner KPU.

Oleh karena itu, kejahatan komunikasi dapat didefinisikan sebagai lontaran pesan komunikasi menggunakan pilihan diksi dan atau simbol tertentu bertujuan mengaburkan dan atau mengelabui tindakan kejahatan yang akan, atau sedang atau sudah dilakukan.

Mengingat peristiwa korupsi masa lalu di masa pemerintahan presiden sebelumnya yang melibatkan AS, muncul pilihan diksi “apel malang” dan “apel washington” sebagai representasi mata uang berbeda yang akan dibagikan kepada orang tertentu dalam rangka upaya mengelabui dan atau menghilangkan jejak perilaku koruptif dalam suatu tindak komunikasi korupsi yang kolaboratif.

Hal di atas sangat linear dengan pilihan diksi terkait dengan komisioner KPU OTT oleh KPK baru-baru ini yaitu memakai diksi “mainkan” dan “biaya operasional”.

Diksi “mainkan” bermakna bahwa perilaku dugaan suap terkait pergantian orang di DPR RI dilakukuan dengan kesadaran yang sangat tinggi antar orang-orang yang terkait dengan kasus suap-menyuap tersebut. Jadi, suap tersebut dilakukan dengan sebuah rencana dan sekaligus memberi tanda sangat aman untuk “dieksekusi” kejahatan koruptif, maka muncul diksi “mainkan”.

Selain itu, diksi ini menunjukkan bahwa kasus suap yang melibatkan komisioner KPU yang OTT oleh KPK tersebut termasuk kejahatan disengaja. Sebagai kejahatan sengaja, menurut saya, proses hukum lanjuran harus mendapat perhatian lebih dari aparat penegak hukum menanganinya.

Sedangkan diksi “dana operasional” yang ratusan juta tersebut juga menarik untuk diungkap makna paripurnanya. Sebab, kepemimpinan di KPU pusat dengan tujuh komisioner dilakukan dengan kolektif kolegial. Artinya, komisioner satu dengan yang lainnya mempunyai kesetaraan, sehingga keputusan yang diambil berdasarkan kolektif kolegial pula.

Di samping itu juga, biaya operasional pengambilan keputusan kolektif kolegial untuk tujuh komisioner hanya sebatas biaya konsumsi (misalnya rebusan singkong, jagung dan kacang tanah) dengan sejumlah ATK yang dibutuhkan. Biayanya tidak sampai 200.000 rupiah. Pengeluaran inipun sudah ada dalam mata anggaran sebagai biaya rapat pimpinan (komisioner) KPU.

Karena itu, biaya operasional ratusan juta tersebut harus dibuka terang benderang. Rencananya dialokasikan untuk apa dan kepada siapa saja. Ini menarik didalami di tengah “budaya” pengambilan keputusan kolektif kelegial tersebut. Untuk itu, komisioner KPU yang OTT KPK harus “bernyanyi nyaring” agar menjadi jelas bagi publik untuk perbaikan KPU kita ke depan.

Diksi-diksi di atas sebagai bukti tak terbantahkan bahwa di tengah masyarakat selama ini ada bentuk kejahatan yang belum kita sadari, saya sebut sebagai kejahatan komunikasi. Tentu termasuk di dalamnya kejahatan komunikasi koruptif.

Karena itu, saya menyarankan kepada Presiden Joko Widodo dan DPR-RI kita, perlu segera menyusun RUU Anti Kejahatan Komunikasi yang memanfaatkan simbol verbal dan nonverbal yang belum tercover oleh UU Hukum Pidana dan UU ITE.

Jakarta, 14 Januari 2020

Penulis: Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner

Editors Team
Daisy Floren