Manajemen Komunikasi Pemkot Bekasi "Sebangun" dengan Jubir Istana?

Manajemen Komunikasi Pemkot Bekasi "Sebangun" dengan Jubir Istana?

Smallest Font
Largest Font

Oleh: Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif Lembaga EmusCorner

LIPUTAN12.ID|JAKARTA – Salah satu media massa online terkemuka di tanah air, hari ini, pada jam yang berbeda memuat dua berita terkait kunjungan Presiden ke Bekasi. Pada berita pertama, pukul 09.10 WIB, menggunakan sumber berita salah seorang pejabat Humas Kota Bekasi. Sumber itu menuturkan Jokowi akan mengunjungi Mal Summarecon Bekasi sekitar pukul 13.00 WIB dalam rangka opening roda perekonomian dan pembukaan mal-mal.

Atas fakta pendapat yang dimuat pada berita tersebut, menjadi sangat masuk akal bahwa pada alinea pertama berita tertulis, Jokowi akan memimpin pembukaan mal-mal di kota Bekasi di tengah pandemi virus corona baru (Covid-19). Padahal, kenyataannya tidak demikian, sebagaimana pada berita kedua berikutnya.

Pada berita kedua, pukul 10:42 WIB, memuat narasi pada alinea pertama bahwa Pemkot Bekasi meluruskan soal kunjungan Presiden Joko Widodo ke Kota Bekasi siang ini. Jokowi berencana mengecek persiapan new normal di Bekasi.

Sebagai dukungan data pendapat, berita kedua ini memuat kutipan langsung Kabag Humas Pemkot Bekasi Sayekti Rubiah, “Meninjau Kota Bekasi dalam rangka persiapan penerapan prosedur new normal setelah PSBB, di sarana publik.”

Berbasis pada fakta pendapat yang dimuat pada berita pertama, maka pernyataan tersebut sangat disayangkan dalam dua hal. Pertama, kunjungan presiden bukan dalam rangka pembukaan mal-mal di tengah pandemik Covid-19, tetapi berencana mengecek persiapan new normal di Bekasi.

Jelas fakta pendapat pada berita pertama sangat tidak produktif bahkan berpotensi merugikan posisi presiden yang telah berjuang sungguh-sungguh menegakan segala peraturan terkait penerapan PSBB. Kedua, fakta pendapat tersebut juga berpotensi menggerus kredibilitas pemerintah pusat di mata publik dalam upaya penangan Covid-19 di Indonesia. Menurut hemat saya, sangat memprihatinkan perilaku komunikasi pejabat humas seperti itu. Sebaiknya, lebih cepat lebih baik, yang bersangkutan segera direposisi dari jabatan humas.

Sampai saat release ini ditulis, fakta pendapat pada berita pertama masih bisa diakses khalayak pembaca. Hal ini bisa menimbulkan persepsi liar di tengah masyarakat. Lebih parah lagi, bila khalayak tidak membaca berita kedua, maka mereka mengambil kesimpulan mempercayai penuh isi berita pertama. Tentu ini tidak baik karena kenyataannya tidak demikian. Kalaupun membaca dua berita tersebut, khalayak bisa menjadi bingung atas dua berita yang berbeda dari sumber institusi hamas yang sama.

Pertanyaan kritis, mengapa pejabat humas pola kumunikasinya seperti itu? Jawabnya sederhana, karena penempatan pejabat humas pemerintah acapkali tidak atas dasar the right man (woman) and place atau belum atas dasar kompetensi komunikasi yang ketat. Padahal, pejabat humas harus menguasai konsep, teori, filsafat, etika komunikasi dan profesional di bidang komunikasi.

Oleh karena itu, saya menduga, sumber pada berita pertama bisa jadi tidak berlatarbelakang komunikolog. Lebih parah lagi jika tidak memiliki kompetensi dan keterampilan profesional komunikasi yang memadai sehingga manajemen komunikasi tidak beda dengan juru bicara (Jubir) di istana yang tidak memiliki latarbelakang ilmu dan profesional komunikasi. Dengan kata lain, manajemen komunikasi Pemkot Bekasi bisa jadi “sebangun” dengan manajemen komunikasi jubir di istana.

Kompetensi komunikasi yang lemah dari para penanggungjawab komunikasi institusi pemerintah pusat maupun daerah di semua tingkatan membuat manajemen komunikasi pemerintah tidak terkelola dengan baik. Skema komunikasi lebih pada komunikasi sporadis dan teknik “pemadam kebakaran”, dengan mengedepankan kaunter isu-isu miring yang sangat tidak efektif. Dengan demikian, kredibilitas dan reputasi pemerintah di ruang publik bisa tergerus dan tergerus terus. Sangat disayangkan.

Untuk itu, saya menyerankan kepada Presiden, Menteri, semua kepala daerah di semua tingkatkan agar melakukan reposisi besar-besaran kepada semua pejabat komunikasi pemerintah. Berikan tanggung jawab itu kepada para komunikolog agar pengelolaan komunikasi pemerintah dapat berjalan dengan baik, sehingga kebijakan dan program pemerintah dapat terkomunikasikan dengan efektif pula kepada masyarakat.

Sebab, komunikasi sudah lama sebagai ilmu pengetahaun dan sudah sejak dulu (ethos, pathos dan logos dari Aritoteles) bahwa komunikasi sebagai profesi profesional. Dengan demikian, hoax dan ujaran kebencian yang merugikan semua pihak, termasuk yang merugikan pemerintah, dapat ditiadakan atau diminimalisasikan dengan manajemen strategik komunikasi dan profesional.

Editors Team
Daisy Floren