Kejagung Hentikan Penuntutan Terhadap 9 dari 10 Tersangka Melalui Restorative Justice
JAKARTA | LIPUTAN12 – Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Dr. Fadil Zumhana, pada Rabu 09 Maret 2022 secara virtual melakukan Ekspose dan menyetujui sembilan dari sepuluh permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif atau Restorativ Justice.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Dr. Ketut Sumedana mengatakan, alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini, selain dikarenakan para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum, juga ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun.
Selanjutnya, telah dilaksanakan pula proses perdamaian, di mana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf. Kemudian tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, dan proses perdamaian juga dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.
“Kemudian, selain pertimbangan sosiologis dan respon positif masyarakat, tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar,” jelas Ketut Sumedana dalam rilis tertulis Puspenkum Kejagung, Rabu (9/3/2022).
“Sedangkan, dalam perkara tersangka Asbar bin Baso dan Irsandi bin H. Nur Ali serta tersangka Hermawan alias Wawan bin Sirajuddin, antara tersangka dan korban memiliki hubungan keluarga,” tambahnya.
Selanjutnya, Jampidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKP2) berdasarkan keadilan restoratif, sesuai peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan surat edaran jaksa agung muda tindak pidana umum Nomor 01 tanggal 10 Februari 2022, sebagai perwujudan kepastian hukum.
“Sementara dalam perkara tersangka Nurhalimah alias Uni yang disangka melanggar Pasal 330 Ayat (2) KUHP tentang Penculikan, tidak dikabulkan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan restoratif, dikarenakan ancaman pidana penjara selama 9 (sembilan) tahun, di mana tidak sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif yang mengatur bahwa perkara dapat dihentikan penuntutannya apabila ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun,” kata Ketut Sumedana.
Adapun 9 berkas dari 10 perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah sebagai berikut:
1. Tersangka Santi alias Santi binti Abdullah dari Kejaksaan Negeri Wajo yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
2. Tersangka Nasrun alias Tayang bin Mattinriang dari Kejaksaan Negeri Wajo yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
3. Tersangka Asbar bin Baso Kejaksaan Bulukumba yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
4. Tersangka Irsandi bin H. Nur Ali dari Kejaksaan Bulukumba yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka Ismail alias Maing bin Nure dari Kejaksaan Bulukumba yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
6. Tersangka Hermawan alias Wawan bin Sirajuddin dari Kejaksaan Negeri Pinrang yang disangka melanggar Pasal 44 ayat (1) UU RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
7. Tersangka Ramli dari Kejaksaan Negeri Makassar yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
8. Tersangka Riyan Haryanto, Amunh Juheri, Dedi Suhendi, Encep Santoni, dan tersangka Sunarya alias Abah bin Alam (alm) dari Kejaksaan Negeri Kota Bandung yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.
9. Tersangka Muhidin alias La Karatus bin La Dunaini dari Kejaksaan Negeri Buton yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Editor : Lekat Azadi
Copyright ©2022 liputan12.id