Kandidasi Pilpres dan Normalisasi Pelanggaran Konstitusi

Kandidasi Pilpres dan Normalisasi Pelanggaran Konstitusi

Smallest Font
Largest Font

JAKARTA | LIPUTAN12 – Tiga pasangan Capres dan Cawapres telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), termasuk Gibran Rakabuming Raka, putera Presiden Joko Widodo yang berpasangan dengan Prabowo Subianto.

Meskipun melaju ke gelanggang Pemilihan Presiden (Pilpres) dengan mengorbankan demokrasi, merusak kepatuhan pada konstitusi dan meruntuhkan marwah Mahkamah Konstitusi (MK), secara legal-formal langkah Gibran dianggap sah oleh KPU.

Setelah beberapa lembaga survei melakukan kampanye publik bahwa langkah Gibran dianggap oleh mayoritas responden bukan politik dinasti, sejumlah pakar hukum juga memberikan justifikasi dengan melakukan nornalisasi pelanggaran konstitusi.

Kini normalisasi juga dilakukan oleh KPU dengan meloloskan Gibran Rakabuming Raka yang berhasil memenuhi syarat sebagai kandidat, meskipun pelanggaran etik berat melekat dalam pengambilan Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Aspek moralitas dan etika politik serta tidak adanya legitimasi politik atas putusan tersebut, semestinya menjadi pertimbangan DPR RI saat membahas PKPU 19/2023 tentang Pencalonan Peserta Pilpres, yang mengubah syarat usia Capres-Cawapres dengan putusan MK yang konteoversial. Nyatanya DPR juga sama, melakukan nornalisasi pelanggaran Konstitusi.

Di tengah situasi demikian, tidak heran jika Megawati Soekarnoputri (12/11) menyebut sebagai manipulasi hukum. Para tokoh bangsa (12/11) menyebut demokrasi telah dinodai. Sedangkan Surya Paloh (11/11) menyebut bahwa ada upaya membawa negara dan aparaturnya melayani kepentingan pribadi dan golongan.

Jika semua ciri Orde Baru sudah terakumulasi, maka wajar kecemasan rakyat tentang kebangkitan otoritarianisme bukanlah gosip para aktivis demokrasi atau elit politik. Situasi ini diperburuk dengan korupsi kolusi dan nepotisme yang menurut Omi Komaria Madjid (12/11), dipertontonkan tanpa malu.

Menyikapi dinamika ketatanegaraan mutakhir, SETARA Institute menolak normalisasi pelanggaran konstitusi dengan tetap mendorong publik peka dan menjadikan kontroversi Putusan 90/PUU-XXI/2023 sebagai variabel dalam menentukan pilihan dalam Pemilu nanti. Cara ini sekaligus sebagai bagian pengawasan publik agar Pemilu dijalankan secara berintegritas dan adil.

SETARA Institute mendorong penyelenggara Pemilu menjadi aktor utama yang menjaga integritas Pemilu sehingga tercipta keadilan elektoral (electoral justice) pada setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu.

SETARA Institute menentang segala bentuk intervensi, intimidasi, dan netralitas artifisial yang ditunjukkan oleh beberapa pihak. Netralitas buatan bukanlah netralitas yang otentik, karena di satu sisi menyerukan netralitas dan menyatakan tidak ada intervensi, tapi di sisi lain tetap membiarkan orkestrasi kandidasi, mobilisasi sumber daya, termasuk tidak melakukan upaya maksimum memastikan keadilan Pemilu.***

Editors Team
Daisy Floren