Heince Mandagi: Gunakan Peraturan Dewan Pers Pemda Menyalahi Undang-Undang Administrasi Pemerintahan
JAKARTA | LIPUTAN12 – Penggunaan atau pencantuman Peraturan Dewan Pers Nomor: 03/Peraturan-DP/X/2019 Tentang Standar Perusahaan Pers sebagai dasar dalam dalam pengelolaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) untuk kegiatan pengadaan barang/jasa publikasi, iklan reklame pada Media Cetak, Elektronik, dan Media Baru (Media Online), dan atau penyusunan peraturan kepala daerah adalah merupakan kesalahan fatal yang harus segera dihentikan, karena hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Adminisrasi Pemerintahan dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Pernyataan tegas itu disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pers Republik Indonesia (SPRI) Heince Mandagi, melalui siaran pers yang dikirim ke redaksi pada Rabu (17/3/2021), menyusul maraknya kebijakan pemerintah daerah yang merugikan media terkait syarat kontrak kerja sama media dan pemda.
Menurut Mandagi, UU Administrasi Pemerintahan Pasal 5 huruf a secara tegas menyebutkan, penyelenggaraan administrasi pemerintahan berdasarkan asas legalitas. Dan pada Pasal 9 Ayat (3) disebutkan, badan dan/atau pejabat pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan wajib mencantumkan atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan.
“Dengan demikian, setiap keputusan atau kebijakan pemerintah yang menggunakan atau mencantumkan peraturan Dewan Pers (DP) sebagai salah satu dasar keputusan atau kebijakan pemerintah akan menjadi cacat hukum karena peraturan Dewan Pers bukan merupakan Peraturan Perundang-Undangan karena tidak masuk dalam Lembaran Negara,” urainya.
Lebih lanjut dikatakan, Peraturan Dewan Pers itu di dalamnya mengatur tentang Penanggungjawab redaksi atau pemimpin redaksi wajib memiliki kompetensi wartawan utama; dan Perusahaan Pers menyertakan wartawannya untuk melakukan uji kompetensi.
Hal itu, menurut Mandagi, sangat jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279), Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2006 tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional, dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 257).
“Bagaimana mungkin pemerintah mewajibkan penanggungjawab media harus memiliki kompetensi wartawan utama yang diperoleh dari kegiatan illegal dan menyalahi peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam menyusun peraturan dan kebijakan. Jika kebijakan atau peratiran tersebut dipaksakan maka justeru akan menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari,” tandasnya.
Atas dasar itu juga, Mandagi mengungkapkan, pihaknya sudah mengeluarkan surat yang ditujukan kepada para Gubernur, Walikota, dan Bupati Se-Indonesia sebagai saran dan masukan agar setiap Kepala Daerah menghindari penggunaan atau pencantuman Peraturan Dewan Pers Tentang Standar Perusahaan Pers sebagai dasar dalam dalam pengelolaan APBD untuk kegiatan pengadaan barang/jasa publikasi, iklan reklame pada Media Cetak, Elektronik, dan Media Baru (Media Online).
Surat ini, kata Mandagi, bisa digunakan oleh seluruh media yang merasa didiskriminasi oleh kebijakan pemerintah daerah terkait kerja sama media yang mewajibkan verifikasi media DP dan pimred media harus memiliki kompetensi wartawan utama.
“Silahkan surat dari DPP SPRI diteruskan atau diserahkan ke pemerintah daerah yang menerapkan kebijakan kerja sama media menggunakan peraturan DP, agar nantinya tidak ada lagi kebijakan Pemerintah Daerah melanggar Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang merugikan media,” tutupnya. ***
Redaktur : Lekat Azadi
Copyright© liputan12 2021