HAM Dikesampingkan, Spiral Kekerasan di Papua Berpotensi Terus Berlanjut
JAKARTA | LIPUTAN12 – SETARA Institute menyebut dengan meletakkan urusan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai urusan belakangan dalam penanganan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua, justru dapat memicu berkembangnya spiral kekerasan dan kompleksitas persoalan konflik di Papua.
Menurut pandangan SETARA Institute, dalam konstruksi HAM yang juga diatur dalam UUD 1945 pasal 28i, terdapat hak-hak yang terkategori non-derogable rights yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun dan oleh siapapun.
Dalam UU HAM telah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “dalam keadaan apapun” termasuk keadaan perang, sengketa senjata, dan atau keadaan darurat. Kemudian yang dimaksud dengan “siapapun” adalah Negara, Pemerintah dan atau anggota masyarakat.
Hal itu dikemukakan SETARA Institute dalam keterangan persnya di Jakarta yang diterima redaksi, Selasa (27/4), menanggapi pernyataan Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), Bambang Soesatyo yang meminta aparat keamanan menurunkan kekuatan penuh dan menumpas habis kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua, dengan meletakkan urusan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai urusan belakangan.
Pernyataan itu disampaikan Bambang Soesatyo (Bamsoet) Senin (26/4) kemarin, merespons atas meninggalnya Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Daerah Papua Brigjen TNI Putu IGP Dani NK yang tewas dalam baku tembak dengan KKB di Boega, Kabupaten Puncak, Papua pada Minggu (25/4) sehari sebelumnya.
Di mana menurut Bamsoet, aparat keamanan tidak perlu ragu untuk menurunkan kekuatan penuh dan urusan hak asasi manusia (HAM) bisa dibicarakan belakangan.
“Saya meminta pemerintah dan aparat keamanan tidak ragu dan segera turunkan kekuatan penuh menumpas KKB di Papua yang kembali merenggut nyawa. Tumpas habis dulu. Urusan HAM kita bicarakan kemudian,” kata Bamsoet, dikutip dari tribunnews.com.
SETARA Institute juga menilai, berkembangnya spiral kekerasan hanya akan mengakibatkan semakin banyaknya korban berjatuhan, terutama dari masyarakat sipil. Bahkan pada Kamis (8/4), 2 orang guru SD juga menjadi korban penembakan karena dianggap sebagai pendatang yang bertugas sebagai mata-mata.
“Pelbagai kasus penembakan yang memakan korban jiwa, terutama dari masyarakat sipil, semakin memperlihatkan pendekatan keamanan tidak menjadi jawaban atas persoalan konflik di tanah Papua,” tulis SETARA Institute.
SETARA Institute menyampaikan ketimbang meletakkan HAM sebagai urusan belakangan, yang secara eksplisit tidak kondusif terhadap penyelesaian konflik Papua, Pendekatan halus (soft approach) dalam bentuk negosiasi yang dilakukan terhadap GAM di Aceh seharusnya dapat menjadi pembelajaran. Terlebih, para aktor yang terlibat ketika itu masih dapat dijumpai.
“Melalui strategi ini kelompok eks kombatan GAM yang dipimpin Din Minimi telah menyerahkan diri pada 2015 lalu. Penyerahan diri Din Minimi itu kemudian diikuti oleh 120 orang anak buahnya dan menyerahkan persenjataan yang mereka pegang (bbc, 29/12/2015). Dengan demikian, penyelesaian konflik dapat dilakukan tanpa memakan korban jiwa lagi, terutama dari masyarakat sipil”.
Dalam penyelesaian konflik di Papua, SETARA mendesak kedua belah pihak untuk melakukan kesepakatan penghentian permusuhan (cessation of hostilities) agar dialog mencari jalan damai dapat dilakukan.
Kemudian mengedepankan penegakan hukum. Upaya perlu dilakukan untuk mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana solutif, penyelesaian, atau pun pemecah masalah keamanan.
Redaktur : Lekat Azadi
Copyright© liputan12 2021